Cerita rakyat adalah legenda Indonesia yang terpelihara di masyarakat sekitar yang dapat memberi nilai moral. Dalam negara kita yang kaya akan berbagai suku, adat dan budaya melahirkan banyak cerita rakyat yang menarik. Masing-masing daerah mempunyai cerita rakyat / legenda yang masih diyakini dan dianut nilai-nilainya sampai sekarang.
Dunia pendididikan pun sering menjadikan cerita rakyat sebagai tugas bagi para pelajarnya. Dan untuk menambah pengetahuan kita tentang negeri kita ini, berikut saya sajikan beberapa cerita rakyat dari beberapa daerah di Indonesia.
CERITA RAKYAT
Cerita rakyat dari Jawa Tengah
Legenda Rawa Pening
Dahulu,
di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa
bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki
Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong
sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum
mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup
rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu menyelesaikannya
melalui musyawarah.
Suatu
hari, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di depan rumahnya.
Tak lama kemudian, Ki Hajar datang menghampiri dan duduk di sampingnya.
“Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar.
Nyai
Selakanta masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam
lamunannya sehingga tidak menyadari keberadaan sang suami di sampingnya.
Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya.
“Eh, Kanda,” ucapnya dengan terkejut.
“Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya.
“Tidak
memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika
Kanda sedang pergi. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis
dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi ini,” ungkap
Nyai Selakanta, “Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali mempunyai anak.
Dinda ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”
Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang.
“Sudahlah,
Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting
kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar.
“Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata. (cerita rakyat)
Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu.
“Baiklah,
Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda
pergi bertapa untuk memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar.
Nyai
Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk
berpisah. Keesokan harinya, berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung
Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati
semakin sepi.
Berminggu-minggu,
bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami
belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai
diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya.
Suatu
hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun
berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin
hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan.
Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah
seorang manusia, melainkan seekor naga.
cerita rakyat
cerita rakyat
Ia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti lonceng.
Ajaibnya,
meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia.
Nyai Selakanta pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu.
Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa kecewa. Sebab, betapa
malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga.
Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru
Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih
dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng
Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta
merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan
warga. (cerita rakyat)
Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya.
“Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.
Nyai
Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga
pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya. Namun, hal itu telah
menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa
ayahnya.
“Iya,
anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa
di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa
engkau adalah putranya,” kata Nyai Selakanta.
“Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan ragu.
“Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.”
Setelah
memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat
menuju lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua
dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru
Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu.
“Hai, siapa itu?” tanya pertapa.
“Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting.
Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara.
“Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran.
“Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar?”
“Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu penasaran.
Mendengar
jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan
ayahnya. Ia kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak
percaya jika dirinya memiliki anak berujud seekor naga. Ketika naga itu
menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya. (cerita rakyat)
“Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing
itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu
memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar
Ki Hajar.
Baru
Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang
ayah. Berbekal kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil
melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun mengakui bahwa naga
itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk
bertapa di Bukit Tugur.
“Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.”
“Baik,” jawab Baru Klinthing.
cerita rakyat
cerita rakyat
Sementara
itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur,
namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk
Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa),
yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan
digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun
akan disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu
undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di
Bukit Tugur.
Sudah
hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang
tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat
seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing.
Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu
lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak
untuk dijadikan hidangan dalam pesta.(cerita rakyat)
Ketika
para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang
tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak
laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru
Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta
makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru
memaki-maki, bahkan mengusirnya.
“Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”
Sungguh
malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan
sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu
dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.
“Semua
orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,”
jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.”
Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat.
“Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.”
“Iya,
cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak
mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung.
“Kalau,
begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika
nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”
Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah.
“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.
Merasa
diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu.
Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun
yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja
gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu
persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi
tersebut. (cerita rakyat)
“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.
Baru
Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu
mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara
gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air
menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air
semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang
kabut hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat
karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun
berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawa Pening.
Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang
berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu.
Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga
Rawa Pening. cerita rakyat
Cerita rakyat dari Sumatera Barat
Cerita rakyat dari Sumatera Barat
Malin Kundang
Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air
Manis ada seorang janda bernama Mande Rubayah. Ia mempunyai seorang
anak laki-laki bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya,
karena sejak kecil Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.
Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nalayan. Ibunya suah tua ia hanya bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari Malin jatuh sakit. Tubuhnya mendadak panas sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak pernah Malin jatuh sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya unuk mengabobati Malin dengan mendatangkan tabib.
Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.
Ketika sudah dewasa, Malin berpamitan kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada saat itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis. (cerita rakyat)
“Bu, ini kesempatan yang baik bagi saya,” kata Malin. “Belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah nasib kita sehingga kita akan menjadi kaya raya.”
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar. Ia mengadahkan kedua tangannya ke aas sembari berdo’a agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Tetapi semua awak kapal atau nahkoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya. (cerita rakyat)
Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun. Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.
Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulu membawa Malin bahwa sekarang malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.
“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...” rintih MANDE RUBAYAH tiap malam.
Namun hingga berbulan – bulan semenjak ia menerima kabar malin belum juga datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.
Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat – tingkat. Orang kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.
cerita rakyat
Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda mudi berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.
Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya si Malin Kundang.
Belum lagi tetua desa sempat menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia langsung memeluk malin erat – erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira.
“Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang – camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya kemana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?” (cerita rakyat)
lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?”
Mendengar kata – kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perikau anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak!”
Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau! Melarat dan dekil!”
Wanita tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya ke langit. Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, Ya Tuhan ...!” (cerita rakyat)
Tidak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba datanglah badai besar. Menghantam kapal malin kundang. Disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping. Kemudian terhempas ombak hingga ke pantai.
Ketika mathari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Demikianlah sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri. “Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuun... Buuuuu ... !” konon itulah suara si Malin Kundang. (cerita rakyat)
Dari cerita rakyat tersebut, bahwa Orang yang durhaka kepada orang tuanya terutama kepada ibunya, orang tersebut tidak akan bisa masuk surga kecuali setelah mendapat pengampunan dari ibunya.
Cerita rakyat dari Kalimantan Timur
Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nalayan. Ibunya suah tua ia hanya bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari Malin jatuh sakit. Tubuhnya mendadak panas sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak pernah Malin jatuh sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya unuk mengabobati Malin dengan mendatangkan tabib.
Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.
Ketika sudah dewasa, Malin berpamitan kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada saat itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis. (cerita rakyat)
“Bu, ini kesempatan yang baik bagi saya,” kata Malin. “Belum tentu setahun sekali ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah nasib kita sehingga kita akan menjadi kaya raya.”
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya kini? Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar. Ia mengadahkan kedua tangannya ke aas sembari berdo’a agar anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang anaknya. Tetapi semua awak kapal atau nahkoda tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada ibunya. (cerita rakyat)
Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun. Tubuhnya semakin tua dimakan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.
Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulu membawa Malin bahwa sekarang malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.
“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...” rintih MANDE RUBAYAH tiap malam.
Namun hingga berbulan – bulan semenjak ia menerima kabar malin belum juga datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.
Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat – tingkat. Orang kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka menyambutnya dengan gembira.
cerita rakyat
Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda mudi berdiri di anjungan. Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.
Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebar keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya si Malin Kundang.
Belum lagi tetua desa sempat menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri Malin. Ia langsung memeluk malin erat – erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira.
“Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang – camping itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat Malin, ibunya adalah seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya kemana saja. Sebelum dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?” (cerita rakyat)
lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan sederajad dengan kami?”
Mendengar kata – kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perikau anaknya, ia jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak!”
Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau! Melarat dan dekil!”
Wanita tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi. Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya ke langit. Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, Ya Tuhan ...!” (cerita rakyat)
Tidak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba datanglah badai besar. Menghantam kapal malin kundang. Disusul sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping. Kemudian terhempas ombak hingga ke pantai.
Ketika mathari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Disela-sela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Demikianlah sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia. Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali diri. “Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuun... Buuuuu ... !” konon itulah suara si Malin Kundang. (cerita rakyat)
Dari cerita rakyat tersebut, bahwa Orang yang durhaka kepada orang tuanya terutama kepada ibunya, orang tersebut tidak akan bisa masuk surga kecuali setelah mendapat pengampunan dari ibunya.
Cerita rakyat dari Kalimantan Timur
Asal Mula Nama Kota Balikpapan
Cerita rakyat dari Sumatera Utara
DANAU TOBA
Dahulu,
di Tanah Pasir, Kalimantan Timur, terdapat sebuah kerajaan besar yang
dipimpin oleh Raja Aji Muhammad yang terkenal adil dan bijaksana. Berkat
kepemimpinan Sang Raja, negeri itu senantiasa aman, makmur, dan
sentosa. Penduduknya hidup dari hasil laut dan pertanian yang melimpah.
Negeri itu memiliki wilayah yang cukup luas, salah satunya adalah sebuah
teluk dengan pemandangan yang amat indah.
Raja
Aji Muhammad memiliki seorang putri bernama Aji Tatin. Dialah calon
tunggal pewaris tahta kerajaan. Itulah sebabnya, semua kasih sayang ayah
dan ibunya tercurah kepada Aji Tatin. Puluhan dayang-dayang istana selalu mendampingi Aji Tatin untuk menjaga, merawat, melindunginya dan memastikan segala keperluan Aji Tatin terpenuhi.
Setelah
beranjak dewasa, Putri Aji Tatin dinikahkan dengan seorang putra
bangsawan dari Kutai. Sebagai putri tunggal, pesta pernikahan Aji Tatin
dilangsungkan sangat meriah. Puluhan sapi dan kerbau disembelih untuk
dihindangkan kepada para tamu undangan dari berbagai penjuru negeri.
Tidak hanya para pembesar dari
kerajaan tetangga, tetapi juga seluruh rakyat negeri itu turut
berpesta. Hari itu merupakan hari indah dan bahagia bagi kedua mempelai.
Saat pesta sedang berlangsung, Raja Aji Muhammad bangkit dari singgasananya untuk memberikan hadiah kepada putri tercitanya.
“Putriku,
Aji Tatin, di hari yang penuh bahagia ini Ayah memberikan wilayah teluk
yang indah dan mempesona itu sebagai hadiah pernikahanmu,” kata sang
Raja di hadapan putri dan disaksikan oleh seluruh undangan, “Kini, teluk
itu telah menjadi wilayah kekuasaanmu. Engkau pun boleh memungut upeti
dari rakyatmu.”
“Terima kasih, Ayahanda. Semoga Ananda bisa menjaga amanat ini,” ucap Putri Aji Tatin dengan perasaan bahagia.
Sejak itulah, Putri Aji Tatin
menjadi raja di teluk tersebut. Untuk memungut upeti dari rakyat, ia
dibantu oleh suaminya dan seorang abdi setia bernama Panglima Sendong.
Ketika itu, upeti yang dipungut dari rakyatnya berupa hasil bumi,
terutama kayu yang sudah berbentuk papan. Papan tersebut akan digunakan
untuk membangun istana. (cerita rakyat)
Suatu
hari, orang-orang kepercayaan Putri Aji Tatin yang dipimpin oleh
Panglima Sendong sedang memungut upeti dari rakyat. Upeti berupa papan
tersebut diangkut melalui laut dengan menggunakan perahu. Namun, ketika
mereka telah hampir sampai di teluk, tiba-tiba angin bertiup sangat
kencang. Selang beberapa saat kemudian, gelombang laut yang amat dahsyat
menerjang perahu yang mereka tumpangi. Seluruh penumpang perahu menjadi
sangat panik.
“Ayo, cepat dayung perahunya ke teluk!” teriak Panglima Sendong.
Mendengar
seruan itu, para pendayung pun segera mengayuh perahu mereka dengan
cepat. Namun, semuanya sudah terlambat. Sebelum perahu itu mencapai
teluk, gelombang laut yang semakin besar menabrak bagian lambung perahu.
Air laut pun masuk dan memenuhi seluruh bagian perahu. Tak ayal, perahu
yang dipenuhi papan kayu itu pun terbalik.
Perahu
yang sudah hampir tenggelam itu kemudian terbawa gelombang laut dan
akhirnya terhempas ke sebuah karang di sekitar teluk sehingga pecah
berantakan. Tokong
(galah) para pendayung pun patah. Papan kayu yang memenuhi perahu itu
sebagian hanyut ke laut dan sebagian yang lain terdampar di tepi teluk.
Sementara itu, tak seorangpun dari penumpang perahu selamat, termasuk
Panglima Sendong.
cerita rakyat
Putri Aji Tatin
dan suaminya amat bersedih atas musibah yang menimpa panglima dan
orang-orang kepercayaannya. Untuk mengenang peristiwa tersebut, maka
wilayah teluk tempat perahu itu terbalik dinamakan Balikpapan, yaitu
dari kata balik dan papan. Sementara itu, karang
tempat terhempasnya perahu itu semakin lama semakin besar sehingga
menjadi sebuah pulau. Hingga kini, pulau itu disebut Pulau Tukung yang
berasal dari kata tokong, yaitu tokong para awak perahu yang patah akibat terhempas di karang. cerita rakyat
Cerita rakyat dari Sumatera Utara
DANAU TOBA
Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang sangat rajin bekerja.
Ia hidup sendiri sebatang kara. Setiap hari ia bekerja menggarap lading
dan mencari ikan dengan tidak mengenal lelah. Hal ini dilakukannya untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di dekat tempat
tinggalnya, ia bermaksud mencari ikan untuk lauknya hari ini. Dengan
hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun langsung
menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut
langsung melemparkan kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan,
petani tersebut berdoa,“Ya Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari
ini”. Beberapa saat setelah berdoa, kail yang dilemparkannya tadi nampak
bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Petani tersebut sangat
senang sekali, karena ikan yang didapatkannya sangat besar dan cantik
sekali. (cerita rakyat)
Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil tangkapannya, petani itu
sangat terkejut. Ternyata ikan yang ditangkapnya itu bisa berbicara.
“Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup”, teriak ikan itu.
Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke dalam
air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah
terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita
yang sangat cantik.
“Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti kamu”, kata si ikan.
“Siapakah kamu ini? Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya petani itu. “Aku
adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar aturan kerajaan”,
jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari kutukan
itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”, kata
wanita itu. Petani itupun setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami
istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak
boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji
itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah beberapa lama mereka menikah, akhirnya kebahagiaan Petani dan
istrinya bertambah, karena istri Petani melahirkan seorang bayi
laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat tampan dan kuat,
tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak tersebut
selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah
makanan dilahapnya tanpa sisa.
cerita rakyat
cerita rakyat
Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat tugas dari ibunya untuk
mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang
bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya. Semua makanan yang
seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di
sebuah gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus
dan lapar. Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke
rumah. Di tengah perjalanan pulang, pak tani melihat anaknya sedang
tidur di gubug. Petani tersebut langsung membangunkannya. “Hey, bangun!,
teriak petani itu.
Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung menanyakan makanannya.
“Mana makanan buat ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis kumakan”, jawab si
anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung memarahi anaknya. "Anak
tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!," umpat si Petani
tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.
Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut, seketika itu juga anak
dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan
kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras. Air meluap sangat
tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya
membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau
Toba.
Cerita rakyat dari Kalimantan
Legenda Batu Menangis
Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai
prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu
ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek
setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala
permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada
ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin,
setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk
berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus
berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang
dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang
melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan
dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena
mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua
perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
cerita rakyat
cerita rakyat
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka.
Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para
pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun
ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras
keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan
bertanya kepada gadis itu, "Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan
dibelakang itu ibumu?"
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
"Bukan," katanya dengan angkuh. "Ia adalah pembantuku !"
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa
jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
"Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?"
"Bukan, bukan," jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. " Ia adalah budakk!"
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan
yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya
diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang,
si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali
didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si
ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa
"Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu
teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah
anak durhaka ini ! Hukumlah dia...."
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka
itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika
perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis
memohon ampun kepada ibunya.
" Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini.
Ibu...Ibu...ampunilah anakmu.." Anak gadis itu terus meratap dan
menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat.
Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi
batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan
air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal
dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut " Batu Menangis ".
Cerita rakyat dari Papua Barat
Asal Usul Burung Cenderawasih
Pada
zaman dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya di
daerah Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat.
Suatu hari, si perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari
makanan di hutan. Hari itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena
persediaan makanan di sekitar rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah
berjalan cukup jauh, mereka tiba di suatu tempat yang dipenuhi oleh
pohon buah merah (sejenis pandan khas Papua) yang kebetulan telah
berbuah. Perempuan tua itu segera memetik buah merah lalu diberikan
kepada anjingnya yang kelaparan. Anjing betina itu langsung melahap buah
merah hingga badannya terlihat segar kembali.
Namun,
beberapa saat kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu yang
bergerak-gerak di dalam perutnya. Perut anjing betina itu semakin
membesar seperti sedang bunting. Ajaib, hanya dalam waktu yang tidak
lama, anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing yang mungil.
Melihat keajaiban itu, perempuan tersebut juga bermaksud memakan buah
merah agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami oleh anjingnya.
“Oh, ajaib sekali buah merah itu,” kagum perempuan itu. “Aku ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.”
Perempuan
itu segera memetik buah merah lalu memakannya. Begitu ia menelan buah
tersebut, perutnya tiba-tiba mengalami hal yang serupa dengan anjingnya,
perutnya semakin lama semakin membesar. Segera saja sang perempuan
bergegas pulang ke pulang. Setiba di rumah, ia akhirnya melahirkan
seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Kweiya. (cerita rakyat)
Sepuluh
tahun kemudian, Kweiya telah tumbuh menjadi remaja. Kweiya sangat rajin
membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun
sayur. Namun karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya mampu
menebang satu batang pohon setiap hari. Sementara itu, ibunya hanya bisa
membantu membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah. Akibatnya,
asap tebal pun mengepul dan membumbung tinggi ke udara. Tanpa mereka
sadari, ternyata asap tebal tersebut telah menarik perhatian seorang
pria tua yang sedang mengail di sebuah sungai.
“Hai, dari mana asal asap tebal itu? Siapa yang sedang membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh
karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber asap tebal
tersebut. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, sampailah
ia di tempat asap itu berasal. Di tempat itu, ia mendapati seorang
remaja tampan sedang menebang pohon di bawah terik matahari.
“Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak muda,” sapa pria tua itu. “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?”
“Nama saya Kweiya. Saya ingin membuat kebun untuk membantu ibu saya” jawab Kweiya
Pria
tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti kepada orang
tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya.
“Kalau begitu, ambillah kapak besi ini. Kamu akan lebih cepat menebang pohon,” kata pria tua itu. “Terima kasih Pak,” jawab Kweiya.
Kweiya
pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dalam waktu singkat,
ia mampu merobohkan beberapa pohon yang besar. Setelah itu, ia bergegas
pulang untuk menceritakan hasil pekerjaannya kepada ibunya. Ibunya pun
amat heran saat mendengar cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon, anakku? Alat apa yang kamu gunakan?” tanya ibunya heran. (cerita rakyat)
Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu.
“Aku
tidak tahu juga, Bu. Kebetulan tadi tangan saya terlalu ringan
mengangkat kapak sehingga dapat menebang pohon dengan cepat,” jawab
Kweiya.
Mendengar
jawaban itu, ibu Kweiya percaya begitu saja. Sementara itu, Kweiya
meminta agar ibunya menyiapkan makanan yang banyak. Rupanya, Kweiya
bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan bersama sekaligus
memperkenalkannya kepada ibunya.
“Bu, besok tolong siapkan makanan yang banyak,” pinta Kweiya.
cerita rakyat
Keesokan harinya, ibu Kweiya memasak makanan yang cukup banyak. Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan sejumlah pohon tebu lengkap dengan daunnya. Setiba di rumah, bungkusan tersebut diletakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan seolah-olah merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan sebatang tebu untuk melepas rasa dahaganya. (cerita rakyat)
Keesokan harinya, ibu Kweiya memasak makanan yang cukup banyak. Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk ibunya. Ketika dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu dengan sejumlah pohon tebu lengkap dengan daunnya. Setiba di rumah, bungkusan tersebut diletakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan seolah-olah merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan sebatang tebu untuk melepas rasa dahaganya. (cerita rakyat)
“Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta Kweiya.
Ibu
Kweiya pun menuruti permintaan anaknya. Saat sang ibu membuka bungkusan
daun tebu, ia sangat terkejut karena mendapati seorang pria tua sedang
berbaring di dalam bungkusan. Seketika, ia pun menjerit ketakutan seraya
berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum seraya menenangkan hati ibunya.
“Maafkan
aku, Bu,” ucap Kweiya. “Aku tidak bermaksud menakuti-nakuti Ibu.
Sebenarnya, pria tua itulah yang telah menolongku menebang pohon di
hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya sebagai teman hidup!”
Ibu
Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia menerima
permintaan anaknya. Sejak saat itu, pria tua tersebut tinggal bersama
mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi.
Selang
beberapa tahun kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua anak laki-laki dan
seorang perempuan dari hasil perkawinannya dengan pria tua itu. Kweiya
menganggap ketiga adiknya tersebut sebagai adik kandung. Mereka hidup
rukun dan saling menyayangi. Namun, hubungan persaudaraan mereka
akhirnya menjadi retak karena kedua adik laki-lakinya merasa iri
terhadap Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu mendapat perhatian
khusus dari ibu mereka.
Suatu
hari, ketika kedua orangtua mereka sedang ke kebun, kedua adiknya
mengeroyok Kweiya hingga luka-luka. Meskipun merasa kesal, Kweiya tidak
tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia lebih memilih bersembunyi di
salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali dari kulit binatang
sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan dibuat sayap.
Sementara
itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun. Ketika mengetahui
Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu kemudian bertanya kepada
adik-adik Kweiya.
“Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu.
“Tidak tahu Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya serentak.
Kedua
adik laki-laki Kweiya ini rupanya takut menceritakan peristiwa
perkelahian mereka yang menyebabkan Kweiya pergi dari rumah. Namun, adik
bungsu mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut menceritakannya
kepada ibu mereka. Betapa sedihnya sang ibu saat mendengar cerita putri
bungsunya itu. Ia kemudian berteriak memanggil-manggil Kweiya agar cepat
kembali ke rumah. Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan suara
burung yang terdengar. (cerita rakyat)
“Eek.. ek... ek... ek..!” begitu suara burung itu.
Suara
itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan benang pada
ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan selanjutnya terbang
ke atas salah satu dahan pohon di depan rumah mereka. Kweiya rupanya
telah berubah menjadi seekor burung yang amat indah dan bulunya
berwarna-warni. Melihat peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis
tersedu-sedu sambil meminta benang pintalan kepada Kweiya.
“Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan untukku?” tanya sang Ibu.
“Bagian Ibu aku sisipkan di dalam payung tikar,” jawab Kweiya.
Sang
ibu pun segera mengambil pintalan benang itu lalu menyisipkan pada
ketiaknya. Setelah berubah menjadi burung, ia kemudian mengepak-kepakkan
sayapnya lalu terbang menyusul Kweiya yang bertengger di dahan pohon.
Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai burung cenderawasih
tersebut terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka.
“Wong... wong... wong... wong...! Ko... ko... kok... ! Wo-wik!” demikian kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya.
Sejak
itulah, burung cenderawasih jantan dan betina sering muncul di Fakfak,
Papua Barat, dengan warna berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung
cenderawasih jantan yang bulunya cenderung lebih panjang kemudian dalam
bahasa Lha disebut Siangga, sedangkan burung cenderawasih betina disebut Hanggam Tombor.
Kedua
adik laki-laki Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu hanya bisa
pasrah ditinggalkan oleh ibu dan kakak mereka. Mereka akhirnya saling
menyalahkan sehingga mereka saling lempar abu tungku. Wajah mereka pun
menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga yang menjadi warna merah.
Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung dan kemudian
terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka. Itulah
sebabnya, hutan rimba di Fakfak lebih banyak dipenuhi oleh beragam
burung yang kurang menarik dibandingkan dengan burung cenderawasih.
Cerita rakyat dari Jawa Timur
Asal Usul Nama Kota Surabaya
Asal Usul Nama Kota Surabaya
Dahulu, di perairan sebelah utara Jawa Timur, hiduplah seekor baya atau buaya dan seekor sura
(hiu) yang saling bermusuhan. Kedua binatang buas yang sama-sama
tangkas, kuat, dan ganas tersebut hampir setiap saat berkelahi untuk
memperebutkan mangsa. Mereka kerap bertarung hingga berhari-hari
lamanya, namun tidak pernah ada yang kalah maupun menang. Meskipun
perilaku kedua binatang buas ini kerap mengganggu ketenteraman, namun
tak satu pun hewan yang berani menghentikan pertikaian mereka.
Suatu ketika, si Baya dan si Sura merasa bosan terus-terusan berkelahi. Mereka sepakat untuk berdamai.
“Hai, Baya. Aku sudah bosan terus-terusan berkelahi,” kata si Sura.
“Benar katamu. Aku pun merasa demikian,” jawab si Baya. “Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan permusuhan ini?”
“Hmmm...
bagaimana kalau daerah kekuasaan kita bagi dua. Aku sepenuhnya berkuasa
di dalam air. Semua mangsa yang ada di dalam air menjadi bagianku.
Sementara kamu sepenuhnya berkuasa di daratan. Jadi, mangsamu hanya yang
berada di daratan,” usul Sura. “Tapi, perlu kamu ketahui bahwa antara
darat dan air yaitu adalah tempat yang dicapai air laut pada waktu
pasang.”
“Baik, Sura. Aku setuju dengan usulanmu,” jawab si Baya.
Sejak
itulah, si Baya dan si Sura tidak pernah lagi berkelahi.
Binatang-binatang lain yang ada di sekitar mereka pun hidup tenteram dan
damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Gara-garanya adalah
Si Sura beberapa kali mencari mangsa di sungai, bukan di laut. Suatu
hari, ketika si Sura mencari mangsa di sungai, si Baya akhirnya
memergokinya. Tentu saja si Baya marah sekali melihat perilaku Si Sura.
“Hai,
Sura. Berani-beraninya kamu memasuki wilayah kekuasaanku! Mengapa kamu
melanggar perjanjian kita?” tanya si Baya dengan kesal.
“Siapa
yang melanggar perjanjian? Hai, Baya, apakah kamu ingat isi perjanjian
kita dulu bahwa akulah yang berkuasa di wilayah air? Bukankah sungai ini
juga ada airnya?” kata si Sura.
Benar apa yang dikatakan si Sura. Tapi, si Baya tetap bersikeras ingin mempertahankan daerah kekuasaannya.
“Hai,
Sura. Aku tahu kalau sungai ini ada airnya. Tapi, bukankah kamu lihat
sendiri bila sungai ini berada di darat?” tanya si Baya, “Itu berarti
sungai ini daerah kekuasaanku, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di
laut.”
Namun, si Sura tetap merasa bahwa alasannya yang paling kuat.
“Tidak bisa, Baya! Aku tidak pernah mengatakan bahwa air itu hanya ada di laut, tetapi air itu juga ada di sungai.”
“Hai, Sura. Kamu memang sengaja mencari gara-gara. Aku tidak sebodoh yang kamu kira,” kata si Baya.
“Ha...
ha... ha...,” si Sura tertawa terbahak-bahak. “Hai, Baya. Aku tidak
perduli kamu bodoh atau pintar. Yang jelas sungai ini adalah wilayah
kekuasaanku!”
Merasa ditipu, si Baya pun meminta agar perjanjian itu dibatalkan dan menantang si Sura untuk saling mengadu kekuatan.
“Baiklah
kalau begitu, Sura. Perjanjian kita batal! Yang penting sekarang, siapa
yang lebih kuat di antara kita, dialah yang akan menjadi penguasa
tunggal di wilayah ini,” tegas si Baya.
“Kamu menantangku berkelahi lagi, Baya? Siapa takut?” jawab si Sura.
Akhirnya,
pertarungan sengit pun kembali terjadi antara kedua binatang buas itu.
Kali ini, mereka bertarung mati-matian karena siapa pun di antara mereka
yang kalah, dia harus meninggalkan wilayah tersebut. Tanpa menunggu
waktu lagi, si Baya langsung menerjang si Sura yang berada di dalam air.
Sementara itu, si Sura yang sudah bersiap-siap dengan cepat berkelit
menghindari serangan. (cerita rakyat)
Si
Sura dan si Baya masih saling menerkam dan menggigit. Dalam suatu
serangan, si Sura berhasil menggigit pangkal ekor si Baya. Air sungai
yang semula jernih pun langsung berubah menjadi merah akibat darah yang
keluar dari luka si Baya. Meskipun dalam keadaan terluka parah, si Baya
terus berupaya melakukan perlawanan. Usahanya tidak sia-sia karena ia
berhasil menggigit ekor si Sura hingga hampir terputus. Tak ayal, si
Sura pun menjerit kesakitan seraya melarikan diri menuju lautan.
Si
Baya merasa puas karena mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat setempat menamakan daerah
tersebut “Surabaya”, yaitu diambil dari gabungan kata Sura dan Baya. Oleh pemerintah setempat, gambar ikan Sura dan Buaya dijadikan sebagai lambang kota Surabaya yang hingga kini masih dipakai.
Cerita rakyat merupakan ciri khas budaya bangsa kita, maka dari itu kita wajib untuk melestarikannya. Selain itu, cerita rakyat juga mengandung unsur-unsur nasehat, petuah yang bisa sebagai bahan pelajaran bagi kita semua. Semoga cerita rakyat di atas dapat menambah pengetahuan kita semua. (ws)